Me-Lantai-kan Jiwa, Melebur Keresahan Raga.

Dudukku terkesan berjam-jam, melantai bersama ikhwan. Berselendang badanku mengepit siku rapat menempel pada kedua paha. Meriuk riuk wajah berkerut seliweran tanpa berpunggung dan tak bermuka. 
Ku ingin tersenyum memberi sedekah tanpa harus mengeluarkan receh melalui keikhlasan yang tak berbeban dan memberatkan namun, rasanya tertelan hati menindih hasrat bersanad bersolah soleh. 

Bersahut saling antara jempol dengan dialog seakan-akan tak ada manusia yang berada di lingkaran keadaan, mereka sama-sama fokus pada cerita-cerita yang sedang mengambang tanpa jelas tujuan. Smartphone hanya penutup kegundahan akan berlayar ke tepian sungai yang mana. 

Jangan risau dan bimbang untuk dikau, ada masanya ketertinggalan itu memiliki historis dan kronologis panjang, ia hanya akan tertiup angin Barat tanpa mata angin ke timur, yang akhirnya akan menyela melewati telinga. Ia terdengar dan tersebar melalui komunikan dengan kemasan narasi simpang siur tanpa klarifikasi hingga menyebar menembus kebenaran. Akankah terus dibudidayakan atau akan sadar sebagai pembaharu peradaban? 

Kelewatan bersuara akan sulit di edit, apalagi menggantikan-Nya dengan bahasa yang lebih terjaga dan tertata, jika telah keluar ke relung muka, tentu akan memperlambat kepercayaan setiap aktivitas mendatang setiap informan saat itu jua. 

Kekuatan jiwa memang sulit dikalahkan dan ribet kokoh dalam satu keadaan. Sebab setiap pemilik-Nya memiliki masa transisi yang melesat cukup cepat, sesuai dengan perubahan alam. Kebaikan masa lalu akan terbayar seiring perjalanan mengarungi dan menghadapi masa akan datang. 

Masa dimana segala hal logis dengan berbagai pertimbangan. Pertimbangan akan kemana bermusafir usai berjalan bermil-mil. Pertimbangan kepada siapa bersandar usai menanti kehidupan akan bertumpu pada siapa. ? Juga tentang Pertimbangan dan analogi akan melanjutkan perjuangan apa usai usia senja. Dan tentu pertimbangan akan menutup catatan Baik atau kelakuan buruk saat Dunia tak lagi membersamai nafas dan jiwa. 

Sekali lagi, kerisauan akan selalu beriringan dengan kehidupan tanpa kecerdikan mengendalikan manajerial hati dan penataan waktu. Jika syukur selalu tersemat maka risau akan dapat diperlambat bahkan lenyap, jikapun mindset mengelola hubungan antar sesama dan ditanamkan sikap optimis tanpa justis maka kerisauan tentu akan fine-fine saja. 

Akhir kata, Normal-Nya manusia mesti memiliki sikap: Risau, Sedih, Bahagia, Syukur dan kufur. Itu semua mengajarkan pribadi-Nya menjadi manusia bijaksana, dewasa, dan penuh logika perencanaan matang menuju capaian ketabahan hati dan pikiran yang merengkuh pada jiwa. 

*PenaDeddet
#MenuliskuSebabMerdeka






Belum ada Komentar untuk "Me-Lantai-kan Jiwa, Melebur Keresahan Raga. "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel